Oleh : Maedi
Muqodimah
Dibulan desember
serimgkali kita mendengar kalimat atau ungkapan “ toleransi “ dan itu seringkali kita dengar baik oleh
pejabat publik maupun tokoh masyarakat karena dihadapkan pada satu moment hari
perayaan agama nasrani yakni Natal dan tahun baru. Ungkapan toleransi itu
ditujukan pada masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim agar bisa menghargai
perbedaan keyakinan terhadap sesama anak bangsa.
Umat Islam Indonesia
sebenarnya sangat toleran,dan menghargai perbedaan keyakinan agama orang
lain. Disetiap tahun masyarakat non
muslim saat merayakan hari rayanya tidak pernah ada kerusuhan apalagi
keributan, kecuali ada faktor politik dan kepentingan yang menjadikan suasana
menjadi tidak kondusif dimana masyarakat begitu mudah terhasut.
Sepanjang pengetahuan
saya semenjak kecil sampai sekarang belum pernah terjadi kerusuhan apalagi
keributan sampai memakan korban di saat acara perayaan non muslim. Qodarullah
daerah saya sendiri diapit oleh dua wilayah kecamatan yang berbeda yakni
kecamatan Arjawinangun dan kecamatan Jamblang. Di kedua kecamatan tersebut ada
minoritas non muslim dan berdiri Gereja dan Wihara , bahkan di Arjawinangun ada
Geraja dan Wihara berdampingan dengan Masjid tetapi mereka sangat khusus dan
kondusif , begitupula di kota Cirebon tepatnya didaerah Dukuh Semar ada Gereja
berhadapan dengan Masjid, di Jln Bahagia ada sekolah Santa Maria ( Nasrani )
berhadapan langsung dengan SMK, SMP Muhammadiyah ( Muslim ).
Artinya masyarakat kita
begitu toleran dan sangat menghargai perbedaan keyakinan antar sesama anak
bangsa. Mereka hidup berdampingan bermu’amlah dengan baik layaknya hidup
bertentangga.
Kemudian pertanyaanya
apa itu toleransi ? bagaimana sikap muslim terhadap toleransi dan bagaimana
pandangan Islam tentang toleransi ? , karena akhir akhir ini banyak opini yang
menyudutkan umat Islam yang mayoritas seakan tidak toleran terhadap keberagaman
yang ada di Indonesia termasuk didalamnya perbedaan keyakinan. Kerusuhan di
beberapa tempat pada tahun tahun yang lalu selalu dikatkan di Islam dan umatnya
padahal kalau ditelusuri dari akar masalahnya itu disebabkan adanya faktor
kebijakan politik dan ketidakadilan sosial yang
berakibat terjadinya ketimpangan sosial. Sehingga masyarakat sangat
mudah di hasut lewat isu dan sentimen yang mengatasnamakan agama.
Pengertian
Toleransi
Toleransi adalah sikap saling
menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan antara individu atau kelompok
dalam hal keyakinan, pendapat, atau kepercayaan.
Secara etimologi, kata “toleransi” berasal dari
bahasa Latin “tolerare” yang berarti sabar dan menahan diri. Secara terminologi
, toleransi mengacu pada sikap yang tidak memaksakan kehendak, tidak mencela,
dan tidak merendahkan orang lain karena perbedaan yang ada. (disadur dari laman https://fahum.umsu.ac.id/toleransi-pengertian-tujuan-dan-unsur-di-dalamnya/)
Dari pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah sikap menghagai perbedaan baik bahasa,
suku maupun keyakinan yang direalisasikan lewat hidup rukun dalam
bermasyarakat. Sikap tersebut sudah dibuktikan umat Islam sebagaiman penulis
sampaikan diatas pada muqodimah. Artinya umat Islam tidak usah diajari tentang
toleransi karean sudah mempraktekanya dalam kehidupan sehari hari di masyarakat
dari dulu hingga sekarang.
Sikap
Muslim terhadap toleransi
Mengacu pada pengertian
toleransi diatas lantas apakah kita sebagai seorang muslim kemudian ikut larut dalam perayaan hari besar keagamaan mereka ? Maka dengan tegas tidak, karena perkara tersebut sudah
menyangkut masalah prinsip kayakinan ( aqidah ) . Sebagai seorang muslim yang
terikat dengan keyakinan tentu punya batasan mana wilayah keyakinan dan mana
wilayah muamalah ( sosial ). Ketika menyangkut wilayah keyakinan harus bersikap
tegas dan tidak boleh dicampuradukan antara hak dan batil.
Ibnu
Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas terkait asbabun nuzul Surat Al Kafirun ini.
Bahwa Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, Aswad bin Abdul Muthalib dan Umayyah
bin Khalaf menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan,
“Wahai Muhammad, marilah kami menyembah Tuhan yang kamu sembah dan kamu
menyembah Tuhan yang kami sembah. Kita bersama-sama ikut serta dalam perkara
ini. Jika ternyata agamamu lebih baik dari agama kami, kami telah ikut serta
dan mengambil keuntungan kami dalam agamamu. Jika ternyata agama kami lebih
baik dari agamamu, kamu telah ikut serta dan mengambil keuntunganmu dalam agama
kami.” Penawaran seperti itu adalah penawaran yang bodoh dan konyol. Maka Allah
pun menurunkan Surat Al Kafirun sebagai jawaban tegas bahwa Rasulullah berlepas
diri dari agama mereka. ( disadur dari lama
https://bersamadakwah.net/surat-al-kafirun/
Kisah yang kedua dari
salah seorang sahabat Nabi, sosok yang menjadi teladan kita, tokoh besar yang
sangat kita kagumi yaitu Umar bin Khaththab radhiallahu anhu terkait dengan
prinsip hidup diatas yang patut kita renungkan. Kisah ini terjadi saat Umar bin
Khaththab datang ke Syam untuk menerima penyerahan Baitul Maqdis dari Romawi
setelah mereka takluk di bawah kekuatan kaum Muslimin. Kisah ini diriwayatkan
oleh Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dari Thariq bin Syihab rahimahullah, ia
mengatakan:
Umar
bin Khaththab keluar menuju Syam dan bersama kami Abu Ubaidah bin Al-Jarrah,
lalu mereka sampai di sebuah genangan air (becek) sedangkan Umar saat itu
berada di atas untanya. Umar pun turun dari untanya, kemudian membuka kedua
sepatunya dan menggantungkannya di pundaknya, mengambil tali kekang untanya
lantas ia pun masuk ke dalam genangan air tersebut. Sehingga Abu Ubaidah pun
berkata: “Wahai Amirul Mukminin, engkau melakukan hal ini?! Engkau membuka
kedua sepatumu dan meletakkannya di pundakmu, mengambil tali kekang untamu lalu
masuk ke dalam genagan air itu?! Sesunguhnya penduduk negeri ini (Romawi)
tengah berdiri tegak menyambut untuk memuliakanmu…” Umar berkata: Uh,
seandainya yang mengucapkan ini bukan engkau wahai Abu Ubaidah tentu aku
menghukumnya sehingga menjadi pelajaran untuk umat Muhammad shallallhu ‘alaihi
wasallam. Sesungguhnya kita dahulu adalah kaum yang paling hina, lalu Allah pun
memuliakan kita dengan Islam. Bilamana kita mencari kemuliaan pada selain
sesuatu yang Allah telah memuluakan kita dengannya (Islam) maka pasti Allah
justru akan menghinakan kita. (Al-Mustadrak:
214, disadur dari islamweb.net dengan judul: Qishshah Khuruj Umar Ila Asy-Syam)
Dari kedua kisah diatas
menggambarkan sebuah prinsip hidup seorang muslim dalam hal memegang teguh
keyakinan serta merasa bangga dan cukup dengan kemuliaan agama Islam. Kecuali
dalam perkara muamalah atau sosial maka seorang muslim boleh bekerjasama dengan
non muslim seperti kegiatan sosial, bisnis, berdagang karena nabi sendiri perna
kerjama dalam bisnis dengan orang orang Yahudi.
Dan di setiap akhir
tahun Masehi, selalu menjadi ujian bagi umat Islam terhadap akidah dan prinsip
hidup mereka. Jangan sampai mengatasnamakan toleransi kemudian kita
menggadaikan keyakinan kita dan merendahkan kemulian Islam sebagai agama yang
diridhoi Allah subhanahu wata’ala
Wallahu ‘alam