Diatas
Sajadah Cinta
( Managemen
Cinta dalam Bingkai Ketaatan )
Kota Kuffah terang
oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk.
Sebagaian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota
Kufah masih terasa. Diserambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap
menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya
bergetar melantunkan ayat‐ayat suci Al‐Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya
menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang‐orang memanggilnya “Zahid”
atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudznnya meskipun ia masih muda. Dia dikenal
masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di
kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid,
untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid
adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada
ayat‐ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras.
Neraka bagaikan menyala‐yala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat‐ayat
nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur
tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi
para bidadari yang suci. Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menagis,
“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. qad aflaha man zakkaaha. wa qad khaaba man
dassaaha
…” (maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa yang itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya,
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang
mengotorinya ….)
Hatinya bertanya‐tanya. Apakah dia
termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori
jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi ? Ayat itu
ia ulang berkali‐kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia
pingsan.
Sementara itu, dipinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana.
Lampu‐lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap‐kerlip bagai bintang
gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun korma yang
luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang
menari‐nari riang gembira. Wajahnya yang putih tampak kemerahan terkena sinar
yang terpancar bagai tiga lentera yang meneragi ruangan itu. Kecantikannya
sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair – syair cinta,
“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si musyriqun bi dhau’wal hubb al wariq…” ( jika aku pencinta malam maka gelasku
memancarkan cahaya dan cinta yang mekar …)
***
Gadis itu terus manari‐nari dengan riangnya. Hatinya berbunga‐bunga.
Diruangan tengah, kedua orang tuanya menyungging senyum mendengar syair yang
didendangkan putrinya. Sang ibu berkata,”Abu Afirah, putri kita sudah menginjak
dewasa. Kau dengarkanlah baik‐baik syair‐syair yang ia dendangkan. “ Ya, itu
syair‐syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang dipasar
aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.” “Bagaimana,
kau terima atau…?” “Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat
sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita
waktu kesusahan. Di samping itu, Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu ?”
“Tak perlu ! Kita tak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah
Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri afirah, dia pasti juga
akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”
***
Pada saat yang sama, disebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah.
Seorang pemuda tampan
dikelilingi oleh teman‐temannya. Tak jauh darinya, seorang penari melenggak
lenggokkan tubuhnya
diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik
temannya.
“Be … benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau
sia‐siakan kesempatan ini, Yasir !”
“Baiklah. Bersenang‐senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari.
Sang penari mengulurkan
tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari‐nari
diiringi irama seruling dan
gendang. Keduannya benar‐benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan
mesra penari itu
membisikkan sesuatu ke telinga Yasir,
“Apakah And punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan mengaggukkan kepalanya. Keduanya terus menari.
Suara gendang memecah hati.
Irama seruling melengking‐lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati
dan pikiran jadi mati.
***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota.
Ia hendak menjenguk saudaranya
yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat‐ayat
suci Al‐Quran. Ia sempatkan ke
pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaraya yang
sakit.
Zahid berjalan melewati kebun korma yang luas, saudaranya pernah
bercerita bahwa kebun itu milik
saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang
membelah kebun korma itu. Tibatiba
dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik
hitam itu semakin membesar dan
mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan
itu menjadi seorang sedang
menunggang kuda. Lalu sayup‐sayup telinganya menangkap suara,
“Tolong ! Tolong !!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya.
Ia menghentikan langkahnya.
Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Tolong ! Tolong !!”
Suara itu semakin jelasa terdengar. Suara seorang perempuan. Dan
matanya dengan jelas bias
menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu
berlari kencang.
“Tolong ! Tolong hentikan kudaku ini ! Ia tidak bisa dikendalikan !”
Mendengar hal itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara
kuda itu semakin dekat dan
tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat‐cepat ia menenangkan
diri dan membaca shalawat. Ia
berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia
mengangkat tangan kanannya dan
berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan
berhenti seketika. Perempuan
yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh.
Zahid mendekati perempuan itu
dan menyapanya.
“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa‐apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang
bening menatap Zahid.
Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
“Alhamdulillah, tidak apa‐apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali.
Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening dibalik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid.
Menyadari hal itu Zahid
menundukkan pandangan ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa
sepengetahuan Zahid, ia
membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan,
dari mana dan mau kemana
Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih
mempesona. Hatinya
bergetar habat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk
pertama kalinya ia menatap wajah
gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya
beradu pandang. Sang gadis
terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak
kalah hebatnya. Gadis itu
tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat‐cepat
menundukkan kepalanya.
“Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudarku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya
Cuma didalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain,” kata Zahid sambil
membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa‐gesa? Kau mau kemana?
Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba‐tiba gadis itu berlari dan berdiri dihadapan Zahid. Terang saja
Zahid gelagapan. Hatinya bergetar
hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Sumur hidup
ia belum pernah menghadapi
situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namku Afirah. Kebun ini milik ayah ku .
Dan rumahku ada di sebelah
selatan kebun ini. Jika kau mau silakan dating ke rumahku. Ayah pasti
akan senang dengan kehadiranmu.
Dan sebagi ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa‐apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi
jalan!”
Terpaksa zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil
menutup kembali mukanya
dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kaki nya melanjutkan
perjalanan.
Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali
diterangi sinar rembulan.
Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca‐kaca. Hatinya basah.
Pikirannya bingung. Apa yang
menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun korma hatinya
terasa gundah. Wajah bersih Zahid
bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh
menunduk membuat hatinya
sedemikian terpikat. Pembicaraan orang‐orang tentang tentang kesalehan
seorang pemuda di tengah
kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia
menatap wajahnya dan
mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba‐tiba
air matanya mengalir deras.
Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah
ia rasakan sebelumnya. Dalam
hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Tersa hangat mengaliri syaraf. Juga
terasa sejuk di dalam hati. Ya
Rabbbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba‐Mu yang bernama
Zahid. Dan inilah untuk pertama
kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku
jatuh cinta. Ya Rabbi,
izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan
yang ia berikan pada Zahid.
Tiba‐tiba ia tersenyum,
“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari
ia akan dating kemari.”
Hatinya berbunga‐bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh
itu hadir di pelupuk
matanya.
***
Sementara itu di dalam Masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis
disebelah mimbar. Ia
menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu
harus berbuat apa. Sejak ia
bertemu dengan Afirah di kebun korma tadi pagi ia tidak bias
mengendalikan gelora hatinya. Aura
kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam
relung‐relung hatinya. Aura itu selalu
melintas dalam shalat, baca Al‐quran dan dalam apa saj yang ia
kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali
menepis jauh‐jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat
sekhusyu‐khusyu –nya namun usaha itu
sia‐sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba‐Mu yang, lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa
yang menimpa diriku. Aku tak
ingin kehilangan cinta‐Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak
mampu mengusir pesona kecantikan
seorang mahluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah
berhadapan dengan daya tarik
wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk
meletakkan embun‐embun cinta yang
menets‐netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada
garis takdir yang paling Engkau
ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk‐Mu. “isak Zahid mengharu biru
pada Tuhan sang Pencipta hati,
cinta dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta
terus ia paksa untuk menepis
noda‐noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun‐embun cinta itu
semakin deras mengalir. Rasa
cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab‐Nya. Rasa cinta dan rindunya
pada Afirah. Dan rasa tidak
ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat
dalam relung hatinya. Dalam
puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbagun. Ia tersentak kaget. Ia belum shalat
tahajud. Beberapa orang tampak
tengah asyik beribadah bercengkrama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia
menyesal. Biasanya ia sudah
membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari di
dunia. Ilahi, hamba lemah maka
berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit, wudhu dan shalat tahajud. Di dalam sujudnya ia
berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha‐Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba
dari murkaMu dan neraka. Amin.
Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada‐Mu,
hamba terlalu lemah untuk
menanggungNya. Amin. Ilahi hamba mohon ampunan‐Mu, rahmat‐Mu,
cinta‐Mu, dan Ridha‐Mu.”
Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan kearah pinggir kota.
Tujuannya jelas yaitu rumah Afirah.
Hatinya mantap untuk melamarnya. Disana ia disambut dengan baik oleh
kedua orang tua Afirah.
Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal
ketakwaannya di seantero penjuru
kota. Afirah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke
dalam. Dari balik tirai ia
mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid
mengutarakan maksud
kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah
menanti dengan seksama
jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan
kepala ia pasrah dengan
jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengar jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau dating terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar
oleh Abu Yasir untuk putranya
Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukkan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik
apa yang didengarnya. Ia
tidak bias menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri
dengan mata berkaca‐kaca.
Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah
mendengarnya. Kedua kakinya
seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan
ketakwaan Zahid ternyata tidak
mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah
Afirah membuat nestapa
jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali‐kali
ia pingsan. Ketika keadaannya kritis
seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau.
Dari bibirnya terucap
kalimat tasbih, tahlil, istigfar dan ….Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota
Kufah. Angin pun meniupkan
kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya
membuatnya menulis sebuah surat
pendek,
Kepada Zahid,
Assalamualaikum,
Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku . Rasa cinta
itulah yang membuatmu sakit dan
menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi
dan sadarmu. Tak bias ku ingkari,
aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan
kuingin kaulah pendamping
hidupku selama‐lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus
kita berdua. Pertama, Aku
akan dating ketempatmu dan kita bias memadu cinta. Atau, kau datanglah
ke kamarku, akan aku
tunjukkan jalan dan waktunya.
Wassalam
Afirah
Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bias
dipercaya. Ia berpesan agar surat itu
langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang
membacanya. Dan meminta
jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati
berbunga‐bunga Zahid menerima surat
itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar
hebat. Ia menarik nafas panjang
dan beristigfar sebanyak‐banyaknya. Dengan berlinang air mata ia
menulis balasan untuk Afirah:
Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah
semata‐mata karena rasa cintaku
padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang
mendatangkan pahala dan diridhai
Allah Azza Wa Jalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang
sama. Bukan sebuah cinta yang
menyeret kepada kenistaan dosa dan murka‐Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati
kehausan jiwa ini dengan secangkir
air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah,”Inni
akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzzba yaumin
‘adhim!” (sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku
durhaka pada Rabb‐ku. Az‐Zumar
:13)
Afirah,
Jika kita terus bertakwa, Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada
yang bisa aku lakukan saat ini
kecuali menangis pada‐Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala.
Namun aku sangat yakin dengan
firmannya:
“Wanita‐wanita yang tidak baik adalah untuk laki‐laki tidak baik, dan
laki‐laki yang tidak baik adalah buat
wanita‐wanita yang tidak baik (pula, dan wanita‐wanita yang baik
adalah untuk laki‐laki yang baik dan
laki‐laki yang baik adalah untuk wanita‐wanita yang baik (pula). Mereka
(yang dituduh) itu bersih dari
apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang
mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan bidadari yang suci dan baik maka aku akan
berusaha kesucian dan
kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara
dan rindumu. Hanya kepada Allah
kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam,
Zahid.
Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan
karena kecewa tapi menangis
karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah.
Pertemuan dan percintaannya dengan
seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia
berpaling dari dunia dan
menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian
Zahid ia jadikan sajadah,
tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon
ampunan dan rahmat Allah Swt.
Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya.
Diatas sajadah putih itu ia
menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, Yaitu cinta kepada
Allah Swt. Hal yang sama juga
dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar‐benar larut dalam
samudera cinta kepada Allah Swt.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulankemudian Zahid menerima
sepucuk surat dari Afirah:
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar
hamba‐Nya yang bertaqwa. Hari ini
ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah
terbuka hatinya. Cepatlah kau dating
melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah
Saw. secapatnya.
Wassalam
Afirah,
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga‐bunga
cinta bermekaran dalam hatinya.
Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.
Kisah diatas sungguh begitu mengharukan kalau kita membaca dan memahami isinya. Sebuah
pembelajaran bagi anak manusia yang saat ini lagi kasmaran, serta mendambakan
seorang kekasih yang setia dan bertanggung jawab dan yang terpenting bisa
mengarahkan kapal cinta ke muara
mahligai pernikahan dengan ikatan suci mulia.
Maka leawat kisah diatas memberikan inspirasi dan pembelajaran bagi
anak manusia akan pentingnya managemen cinta. Cinta kalau tidak di maneg akan cenderung
” liar “ yang akan menjadikan manusia lupa akan dirinya. Sehingga
bisa mengantarkan anak manusia kepada
kehinaan dan penghinaan. Cinta yang tidak dimaneg akan menghancurkan
sendi-sendi kehidupan dalam perspektif aqidah akan menjadikan manusia masuk
kedalam noda-noda kemusyrikan. Dimana ia akan senantiasa dirundung penyesalan
yang berkepanjangan yang telah dilakukanya atas nama cinta. Maka lewat tulisan
ini , penulis mencoba memberikan sebuah pemikiran kecil guna memberi pencerahan
akan hakikat cinta dan mencintai agar dalam kontek managemen, cinta dapat
diatur dan didudukan sesuai dengan porsi dan kapasitasnya sebagai motivator
yang bernialai positif bagi manusia yang lagi mersakan cinta maupun manusia
yang sedang dicintai. Yangan pada akhirnya keberadaanya berakhir dengan kebaikan bersama dan memberi
keuntungan secara psikologis bagi seseorang yang sedang dilanda cinta.
Definisi Cinta
Menurut Hazrat Inayat Khan dalam Filsafat Cinta[1]
kata cinta, dalam bahasa Inggris 'love', dalam bahasa Sanskrit 'Lobh',
berarti keinginan, hasrat.Cinta adalah hasrat untuk menyadari sesuatu yang
dicintai. Karena itu, Shuhud, realisasi cinta,merupakan satu-satunya tujuan
setiap jiwa. Cinta, dalam berbagai aspeknya, dikenal pula dengan sebutan:
kehendak, keinginan, hasrat, kebaikan, suka, dan lain-lain.
Dalam perjalanan menuju manifestasi, jiwa melewati empat keadaan,
'Ilm, 'Ishq, Wujud, Shuhud. 'Ilm adalah keadaan awal dari kesadaran,
kecerdasan murni. 'Ishq adalah cinta, tahap kecerdasan berikutnya menuju
manifestasi; karena itu kecerdasan dan cinta sama unsurnya. Benda-benda seperti
batu dan tumbuh-tumbuhan, tak memiliki kecerdasan, sehingga tak memiliki cinta,
kecuali suatu persepsi kecil tentang cinta yang ada di dalam kehidupan
tumbuh-tumbuhan. Tetapi di antara hewan dan burung-burung, kecerdasan
berkembang, sehingga cinta di dalam diri mereka dapat menunjukkan diri. Wujud
adalah dunia obyektif, yang diciptakan untuk dicintai, karena cinta tak dapat
diwujudkan bila tak ada sesuatu yang dicintai. Shuhud adalah realisasi
pengalaman cinta dalam aspek apapun.[2]
Bersambung..........
Bersambung..........