About Me

My photo
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia

Saturday 30 December 2023

MENEMPATKAN SIKAP TOLERANSI SESUAI PORSINYA

 Oleh :  Maedi 


Muqodimah

Dibulan desember serimgkali kita mendengar kalimat atau ungkapan “ toleransi “  dan itu seringkali kita dengar baik oleh pejabat publik maupun tokoh masyarakat karena dihadapkan pada satu moment hari perayaan agama nasrani yakni Natal dan tahun baru. Ungkapan toleransi itu ditujukan pada masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim agar bisa menghargai perbedaan keyakinan terhadap sesama anak bangsa.

Umat Islam Indonesia sebenarnya sangat toleran,dan menghargai perbedaan keyakinan agama orang lain.  Disetiap tahun masyarakat non muslim saat merayakan hari rayanya tidak pernah ada kerusuhan apalagi keributan, kecuali ada faktor politik dan kepentingan yang menjadikan suasana menjadi tidak kondusif dimana masyarakat begitu mudah terhasut.

Sepanjang pengetahuan saya semenjak kecil sampai sekarang belum pernah terjadi kerusuhan apalagi keributan sampai memakan korban di saat acara perayaan non muslim. Qodarullah daerah saya sendiri diapit oleh dua wilayah kecamatan yang berbeda yakni kecamatan Arjawinangun dan kecamatan Jamblang. Di kedua kecamatan tersebut ada minoritas non muslim dan berdiri Gereja dan Wihara , bahkan di Arjawinangun ada Geraja dan Wihara berdampingan dengan Masjid tetapi mereka sangat khusus dan kondusif , begitupula di kota Cirebon tepatnya didaerah Dukuh Semar ada Gereja berhadapan dengan Masjid, di Jln Bahagia ada sekolah Santa Maria ( Nasrani ) berhadapan langsung dengan SMK, SMP Muhammadiyah ( Muslim ).

Artinya masyarakat kita begitu toleran dan sangat menghargai perbedaan keyakinan antar sesama anak bangsa. Mereka hidup berdampingan bermu’amlah dengan baik layaknya hidup bertentangga.

Kemudian pertanyaanya apa itu toleransi ? bagaimana sikap muslim terhadap toleransi dan bagaimana pandangan Islam tentang toleransi ? , karena akhir akhir ini banyak opini yang menyudutkan umat Islam yang mayoritas seakan tidak toleran terhadap keberagaman yang ada di Indonesia termasuk didalamnya perbedaan keyakinan. Kerusuhan di beberapa tempat pada tahun tahun yang lalu selalu dikatkan di Islam dan umatnya padahal kalau ditelusuri dari akar masalahnya itu disebabkan adanya faktor kebijakan politik dan ketidakadilan sosial yang  berakibat terjadinya ketimpangan sosial. Sehingga masyarakat sangat mudah di hasut lewat isu dan sentimen yang mengatasnamakan agama.

Pengertian Toleransi

Toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan antara individu atau kelompok dalam hal keyakinan, pendapat, atau kepercayaan.
Secara etimologi, kata “toleransi” berasal dari bahasa Latin “tolerare” yang berarti sabar dan menahan diri. Secara terminologi , toleransi mengacu pada sikap yang tidak memaksakan kehendak, tidak mencela, dan tidak merendahkan orang lain karena perbedaan yang ada. (disadur dari laman https://fahum.umsu.ac.id/toleransi-pengertian-tujuan-dan-unsur-di-dalamnya/)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah sikap menghagai perbedaan baik bahasa, suku maupun keyakinan yang direalisasikan lewat hidup rukun dalam bermasyarakat. Sikap tersebut sudah dibuktikan umat Islam sebagaiman penulis sampaikan diatas pada muqodimah. Artinya umat Islam tidak usah diajari tentang toleransi karean sudah mempraktekanya dalam kehidupan sehari hari di masyarakat dari dulu hingga sekarang.

Sikap Muslim terhadap toleransi

Mengacu pada pengertian toleransi diatas lantas apakah kita sebagai seorang muslim kemudian  ikut larut dalam perayaan hari  besar keagamaan mereka ? Maka dengan tegas tidak, karena perkara tersebut sudah menyangkut masalah prinsip kayakinan ( aqidah ) . Sebagai seorang muslim yang terikat dengan keyakinan tentu punya batasan mana wilayah keyakinan dan mana wilayah muamalah ( sosial ). Ketika menyangkut wilayah keyakinan harus bersikap tegas dan tidak boleh dicampuradukan antara hak dan batil.  

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Ibnu Abbas terkait asbabun nuzul Surat Al Kafirun ini. Bahwa Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, Aswad bin Abdul Muthalib dan Umayyah bin Khalaf menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, “Wahai Muhammad, marilah kami menyembah Tuhan yang kamu sembah dan kamu menyembah Tuhan yang kami sembah. Kita bersama-sama ikut serta dalam perkara ini. Jika ternyata agamamu lebih baik dari agama kami, kami telah ikut serta dan mengambil keuntungan kami dalam agamamu. Jika ternyata agama kami lebih baik dari agamamu, kamu telah ikut serta dan mengambil keuntunganmu dalam agama kami.” Penawaran seperti itu adalah penawaran yang bodoh dan konyol. Maka Allah pun menurunkan Surat Al Kafirun sebagai jawaban tegas bahwa Rasulullah berlepas diri dari agama mereka. ( disadur dari lama https://bersamadakwah.net/surat-al-kafirun/

Kisah yang kedua dari salah seorang sahabat Nabi, sosok yang menjadi teladan kita, tokoh besar yang sangat kita kagumi yaitu Umar bin Khaththab radhiallahu anhu terkait dengan prinsip hidup diatas yang patut kita renungkan. Kisah ini terjadi saat Umar bin Khaththab datang ke Syam untuk menerima penyerahan Baitul Maqdis dari Romawi setelah mereka takluk di bawah kekuatan kaum Muslimin. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dari Thariq bin Syihab rahimahullah, ia mengatakan:

Umar bin Khaththab keluar menuju Syam dan bersama kami Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, lalu mereka sampai di sebuah genangan air (becek) sedangkan Umar saat itu berada di atas untanya. Umar pun turun dari untanya, kemudian membuka kedua sepatunya dan menggantungkannya di pundaknya, mengambil tali kekang untanya lantas ia pun masuk ke dalam genangan air tersebut. Sehingga Abu Ubaidah pun berkata: “Wahai Amirul Mukminin, engkau melakukan hal ini?! Engkau membuka kedua sepatumu dan meletakkannya di pundakmu, mengambil tali kekang untamu lalu masuk ke dalam genagan air itu?! Sesunguhnya penduduk negeri ini (Romawi) tengah berdiri tegak menyambut untuk memuliakanmu…” Umar berkata: Uh, seandainya yang mengucapkan ini bukan engkau wahai Abu Ubaidah tentu aku menghukumnya sehingga menjadi pelajaran untuk umat Muhammad shallallhu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya kita dahulu adalah kaum yang paling hina, lalu Allah pun memuliakan kita dengan Islam. Bilamana kita mencari kemuliaan pada selain sesuatu yang Allah telah memuluakan kita dengannya (Islam) maka pasti Allah justru akan menghinakan kita. (Al-Mustadrak: 214, disadur dari islamweb.net dengan judul: Qishshah Khuruj Umar Ila Asy-Syam)

Dari kedua kisah diatas menggambarkan sebuah prinsip hidup seorang muslim dalam hal memegang teguh keyakinan serta merasa bangga dan cukup dengan kemuliaan agama Islam. Kecuali dalam perkara muamalah atau sosial maka seorang muslim boleh bekerjasama dengan non muslim seperti kegiatan sosial, bisnis, berdagang karena nabi sendiri perna kerjama dalam bisnis dengan orang orang Yahudi.

Dan di setiap akhir tahun Masehi, selalu menjadi ujian bagi umat Islam terhadap akidah dan prinsip hidup mereka. Jangan sampai mengatasnamakan toleransi kemudian kita menggadaikan keyakinan kita dan merendahkan kemulian Islam sebagai agama yang diridhoi Allah subhanahu wata’ala

Wallahu ‘alam


No comments:

Post a Comment